Senin, 28 Juni 2010

Patogenesis dan Gejala Klinis Tumor Hipofisis

Ni Putu Ari Wijayanti
F/KP/VI
04.07.1855

Hingga saat ini dikenal 2 hipotesis tentang asal tumor hipofisis yaitu: 1).Adanya kelainan intrinsik dalam kelenjar hipofisis sendiri, 2). Sebagai hasil stimulasi yang terus menerus oleh hormon hipotalamus atau faktor.
Kemajuan biologi molekuler membuktikan tumor ini berasal dari monoklonal, yang timbul dari mutasi sel tunggal diikuti oleh ekspansi klonal. Neoplasia hipofisis merupakan proses multi-step yang meliputi disregulasi pertumbuhan sel atau proliferasi, diferensiasi dan produksi hormon. Ini terjadi sebagai hasil aktifasi fungsi onkogen setelah inaktifasi gen tumor supresor. Proses aktivasi fungsi onkogen merupakan hal yang dominan, karenanya gangguan allel tunggal dapat menyebabkan perubahan fungsi sel.
Inaktifasi tumor supresor bersifat resesif, karenanya kedua gen allel harus terlibat untuk mempengaruhi fungsi seluler. Heterogenitas defek genetik ditemukan pada adenoma hipofisis sesuai dengan proses neoplastik multi step.
Abnormalitas protein G, penurunan ekspresi protein nm23, mutasi ras gen, delesi gen p53, 14 q, dan mutasi, kadar c-myc onkogen yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan adenoma kelenjar hipofisis.
Penelitian in vitro membuktikan peranan estrogen dalam menginduksi terjadinya hiperplasia hipofisis dan replikasi laktotroph. Terbukti produk PTTG (Pituitary tumor transforming gene) menyebabkan transformasi aktifitas dan menginduksi sekresi dasar bFGF, sehingga memodulasi angiogenesis hipofisis dan formasi tumor. PTTG ini diinduksi oleh estrogen.

Secara garis besar, gejala tumor hipofisis dapat dibagi:
1. Tanda dan gejala yang berhubungan atau disebabkan oleh produksi hormon yang berlebihan, misalnya tanda dan gejala hiperkortisolemia pada pasien dengan adenoma sekresi ACTH, atau tanda akromegali pada pasien dengan adenoma sekresi GH.
2. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan efek mekanik perluasan tumor dalam sela tursika, misalnya nyeri kepala, gangguan penglihatan dan kelumpuhan saraf kranial. Nyeri kepala merupakan gejala awal yang sering terjadi dan sebagai akibat terjadinya peregangan dari diafragma sella, nyeri kepala biasanya bitemporal, periorbital atau menjalar ke verteks dan besarnya massa tidak berhubungan dengan derajat nyeri kepala. Gangguan penglihatan dapat pula terjadi karena adanya penekanan pada jaras visual anterior dan hemianopia bitemporal inkongruen merupakan defisit penglihatan yang klasik. Defisit penglihatan yang terjadi tergantung dari letak kiasma (prefixed, normal atau postfixed), ukuran, progresifitas serta lamanya penyakit. Gangguan lapang pandang ini mempunyai beberapa variasi tergantung dari posisi kiasma optikum, bentuk dan ukuran sella, arah pertumbuhan tumor maupun distribusi dari serabut saraf dalam kiasma yang menyilang dan membentuk lekuk (loops). Pada kiasma letak normal umumnya terjadi hemianopia bitemporal, pada tipe postfixed terjadi gangguan pada satu atau kedua saraf optik, sedangkan pada tipe prefixed terjadi gangguan pada traktus optiknya. Pada pertumbuhan tumor hingga melibatkan hipotalamus dapat disertai gangguan fungsi endokrin, keseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan regulasi termal maupun otonom sedangkan pertumbuhan pada arah lateral dapat mempengaruhi struktur dalam sinus kavernosus.
3. Tanda dan gejala kegagalan fungsi normal hipofisis (misalnya parsial atau panhipopituitarisme). Ini hampir selalu terlihat pada pasien dengan makroadenoma.

Prolactin Secreting Adenomas

- Wanita lebih sering dari pria dengan perbandingan 10:1 akan tetapi setelah dekade ke-5 sama banyak.
- Wanita lebih sering dengan mikroadenoma, pria cenderung dengan makroadenoma.
- Pada wanita hiperprolaktinemia dapat menyebabkan oligomenore, amenore maupun galaktorea. Pada pria impotensi dan libido menurun.
- Gejala-gejala akibat efek mekanik tumor.
- Gejala hipopituitarisme terlihat pada makroadenoma.
- Hiperprolaktinemia menyebabkan periode panjang hipogonadism yang mengakibatkan densitas mineral tulang menurun dan osteoporosis.
- Laboratorium: Peningkatan konsentrasi serum prolaktin. Pada prolaktinoma, konsentrasi serum > 200 ng/l, sedangkan pada prolactin secreting adenoma biasanya antara 100-200 ng/l .

GH-secreting Adenomas atau adenoma somatorotroph
- Pada orang dewasa biasanya dengan sindroma klinis akromegali, sedangkan pada anak dengan gigantisme.
- Prevalensi DM, hipertensi, kelainan kardiovaskuler, dan saluran pernapasan meningkat pada pasien dengan akromegali.
- Kebanyakan pasien dengan sekresi GH berlebihan setelah 5-10 tahun mengalami perubahan berupa pertumbuhan tulang yang berlebihan, pembengkakan jaringan halus, perubahan kulit, DM, hipertensi dan gejala kardiovaskuler lainnya. Beberapa pasien mengalami gangguan tidur dan hipopituitarism, selain itu nyeri kepala dan gejala visual.
- Sekitar 30% pasien adenoma mengalami hiperprolaktinemia karena kosekresi GH dan prolaktin oleh tumor atau sekunder karena kompresi pembuluh darah portal.
- Pada pasien dengan akromegali biasanya ditemukan galaktore, walaupun konsetrasi serum prolaktin normal.
- Pasien akromegali beresiko tinggi terjadi polip kolon dan kanker kolon.
- Standar diagnostik dengan pemeriksaan respons GH terhadap glukosa. Pemeriksaan yang lain adalah IGF-I (Insulin like Growth Factor I) untuk diagnostik biokimia akromegali.

Corticotropin-secreting Pituitary Adenomas atau adenoma kortikotroph
- Kebayakan ditemukan pada wanita dengan rasio 8:1, insiden tertinggi pada dekade ke 3-4.
- ACTH-secreting pituitary adenomas merupakan penyebab tersering hiperkortisolism endogen, sekitar 65-70% dari seluruh kasus sindroma Cushing.
- Walaupun jinak tapi lebih infasiv, sehingga kebanyakan pasien mengalami nyeri kepala dan kelainan visual.
- Gejala hiperkortisolism, yaitu obesitas sentral, mudah memar, miopati proksimal, striae, hipertensi, hirsutism, haid tidak teratur, perubahan mood, peningkatan lemak supraklavikuler dan dorso-servikal, luka yang sulit sembuh, osteoporosis dan hiperglikemi. Hipokalemi ditemukan pada 20-25% pasien dengan sindroma Cushing.
- Untuk memastikan diagnosis hiperkortisolism dan sindrom Cushing atau pseudoCushing dilakukan tes CRH-deksametason. Diberikan deksametason 0,5 mg oral tiap 6 jam selama 24 jam diikuti pemberian CRH bolus IV. Didiagnosis sindrom Cushing bila serum kortisol lebih dari 1.4ng/dl 15 menit setelah pemberian CRH.

Gonadotroph Pituitary Adenomas atau adenoma gonadotroph
- Tumor ini disebut non fungsional atau nonsekresi, tapi sebenarnya terdapat sekresi follicle stimulating hormone (FSH) atau luteinizing hormone (LH) atau keduanya, tapi dalam jumlah minimal.
- Biasanya berukuran besar (>10 mm) dan sering berekstensi melewati sela tursika.
- Gejala klinis umumnya berhubungan dengan efek mekanik, meliputi gangguan visual (penurunan tajam penglihatan, penyempitan lapang pandang dan gangguan gerakan bola mata), nyeri kepala dan hipopituitarism.
- Kadang-kadang ditemukan peningkatan produksi LH. Pada pria terdapat peningkatan serum testosteron dan peningkatan libido, pada wanita berupa sindroma hiperstimulasi ovarium (peningkatan estradiol, kista ovarium multiple dan hiperplasia endometrium).
- Kebanyakan pasien dengan tanda dan gejala hipopituitarism, karena tumor ini berukuran besar.
- Peningkatan LH setelah stimulasi TRH merupakan tanda spesifik adenoma gonadotroph.



Jumat, 25 Juni 2010

ASKEP DIABETES INSIPIDUS

NAMA : DYAN KARNAWATI
KELAS ; F/KP/VI
NIM : 04.07.1794

ASKEP DIABETES INSIPIDUS

DEFENISI
Diabetes insipidus adalah pengeluaran cairan dari tubuh dalam jumlah yang banyak yang disebabkan oleh dua hal
@ Gagalnya pengeluaran vasopressin
@ Gagalnya ginjal terhadap rangsangan AVP
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat menganggu mekanisme neurohypophyseal – renal reflex sehingga mengakibatkan
kegagalan tubuh dalam mengkoversi air .

GEJALA KLINIS
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam sangat banyak , dapat mencapai 5 – 10 liter sehari. Berat jenis urin biasanya sangat rendah , berkisar antara 1001 – 1005 atau 50 – 200 mOsmol/kg berat badan. Selain poliuria dan polidipsia , biasanya tidak terdapat gejala –gejala lain kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan timbulnya gangguan pada mekanisme neurohypophyseal renal reflex .

PATOGENESIS
Secara patogenesis diabetes insipidus di bagi atas dua , yaitu,. diabetes insipidus sentralis dan diabetes
insipidus nefrogenik.
Diabetes Insipidus Sentralis ( DIS )
DIS disebabkan oleh berapa hal diantaranya adalah :
@ pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik akibat rusaknya akson pada traktus supraoptikohipofisealis
@ sintesis ADH terganggu
@ kerusakan pada nucleus supraoptik paraventricular
@ Gagalnya pengeluaran Vasopresin

PATOFISIOLOGI
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O.
Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma kan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia).
Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin.
Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu
dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.
DIS dapat juga terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa
DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibody terhadap ADH.



ETIOLOGI
Ada beberapa keadaan yang mengakibatkan diabetes insipidus sentral , termasuk di dalamnya adalah tumor-tumor pada hipotalamus, tumor-tumor besar hipofisis dan menghancurkan nucleus-nukleus hipotalamik, trauma kepala, cedera operasi pada hipotalamus, oklusi pembuluh darah pada
ntraserebral, dan penyakit-penyakit granuomatosa.

GEJALA KLINIK
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah produksi urin maupun cairan yang diminum per 24 jam sangat banyak. Selain poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat gejala-gejala lain, kecuali bahaya baru yang timbul akibat dehidrasi yang dan peningkatan
konsentrasi zat-zat terlarut yang timbul akibat gangguan rangsang haus.
Diabetes Nefrogenik ( DI )
DIN adalah diabetes insipidus yang tidak responsive terhadap ADH eksogen

ETIOLOGI
Diabetes Insipidus Nefrogenik dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
1.Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal polikistik
Medullary cystic disease
Pielonefretis
Obstruksi ureteral
Gagal ginjal lanjut
2.Gangguan elektrolit
Hipokalemia
Hiperkalsemia
3 Obat -obatan
litium
demoksiklin
asetoheksamid
tolazamid
glikurid
propoksifen
4 penyakit sickle cell
5 gangguan diet

DIAGNOSIS
Ada sebuah cara untuk mendiagnosa penyebab suatu poliuria adalah akibat Diabetes Insipidus, bukan karena penyakit lain. Caranya adalah dengan menjawab tiga pertanyaan yang dapat kita ketahui dengan anamnese pemeriksaan.
Pertama, apakah yang menyebabkan poliuria tersebut adalah pemasukan bahan tersebut (dalam hal ini air) yang berlebihan ke ginjal atau pengeluaran yang berlebihan. Bila pada anamnesa ditemukan bahwa pasien memang minum banyak, maka wajar apabila poliuria itu terjadi.
Kedua, apakah penyebab poliuria ini adalah factor renal atau bukan. Poliuria bisa terjadi pada penyakit gagal ginjal akut pada periode diuresis ketika penyembuhan. Namun, apabila poliuria ini terjadi karena penyakit gagal ginjal akut, maka akan ada riwayat oligouria (sedikit kencing).
Ketiga, Apakah bahan utama yang membentuk urin pada poliuria tersebut adalah air tanpa atau dengan zat-zat yang terlarut. Pada umumnya, poliuria akibat Diabetes Insipidus mengeluarkan air murni, namun tidak menutup kemungkinan ditemukan adanya zat-zat terlarut. Apabila ditemukan zat-zat terlarut berupa kadar glukosa yang tinggi (abnormal) maka dapat dicurigai bahwa poliuria tersebut
akibat DM yang merupakan salah satu Differential Diagnosis dari Diabetes Insipidus.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika kita mencurigai penyebab poliuria ini adalah Diabetes Insipidua, maka harus melakukan pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan untuk membedakan apakah jenis Diabetes Insipidus yang
dialami, karena penatalaksanaan dari dua jenis diabetes insipidus ini berbeda. Ada beberapa
pemeriksaan pada Diabetes Insipidus, antara lain:
1.Hickey Hare atau Carter-Robbins
2.Fluid deprivation
3.Uji nikotin
Apapun pemeriksaannya, prinsipnya adalah untuk mengetahui volume, berat jenis, atau konsentrasi
urin. Sedangkan untuk mengetahui jenisnya, dapat dengan memberikan vasopresin sintetis, pada
Diabetes Insipidus Sentral akan terjadi penurunan jumlah urin, dan pada Diabetes Insipidus Nefrogenik
tidak terjadi apa-apa.



PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada Diabetes Insipidus harus sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien DIS
parsial mekanisme haus yang tanpa gejala nokturia dan poliuria yang mengganggu tidur dan aktivitas
sehari-hari tidak diperlukan terapi khusus.
Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormone pengganti (hormonal replacement)
DDAVP (1-desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama. Selain itu, bisa juga
digunakan terapi adjuvant yang mengatur keseimbangan air, seperti:
Diuretik Tiazid
Klorpropamid
Klofibrat
Karbamazepin

Kamis, 24 Juni 2010

Askep Hipertensi

HIPERTENSI

Dian Mei Purwanti
04.07.1793

A. PENGERTIAN
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 10 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg. Pada lansia, hipetrensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

B. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak pada pusat vasomotor pada medula di otak. Dari vasomotor tersebut bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di thorak dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotordihantarkan dalam bentuk impulsyang bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neurun preganglionmelepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah. Dengan dilepaskannya norepineprin akan mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor. Seseorang dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rngsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal menseksresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid linnya, yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II yang menyebabkan adanya sutu vasokonstriktor yang kuat. Hal ini merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal yang mengakibatkan volume intravaskular. Semua faktor tesebut cenderung menyebabkan hipertensi.
Pada lansia, perubahan struktur dan fugsi pada sistem pmbuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi. Perubahan tersebut meliputiaterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang akan menurunkankemampuan distensi daya regang pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan aorta dan arteri besar bekurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga terjadi penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.

C. ETIOLOGI
1. Gangguan emosi
2. Obesitas
3. Konsumsi alkohol yang berlebih
4. Rangsangan kopi dan tembakau yang berlebihan
5. Obat-obatan
6. Keturunan

D. MANIFESTASI KLINIS
Pada pemeriksaan fisik kemungkinan tidak akan dijumpai adanya suatu kelainan yang nyata selain tekanan darah yang tinggi akan tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina seperti perdarahan , eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah dan pad kasus berat edema pupil (edema pada diskus optikus).
Seseorang yang mengalami hipertensi kadang tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala muncul biasanya dengan timbul adanya kerusakan vaskuler dengan manifestasi yang khas sesuai sitem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Penyakit arteri koroner dengan angina adalah gejala yang paling sering menyertai hipertensi.

E. EVALUASI DIAGNOSTIK
Riwayat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh sangat penting. Retina harus diperiksa dan dilakukanpemeriksaan laboratoriumuntuk mengkaji kemungkinan adanya kerusakan organ seperti ginjal dan jantung. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dikaji dengan elektrokardiografi. Protein dalam urine dapat dideteksi dengan urinalisa. Pemeriksaa khusu seperti renogram, pielogram intravena, arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah, dan penentuan kadar urine dapat dilakukan untuk mengidentifikasikan pasien dengan penyakit renovaskular.
















F. PENATALAKSANAAN






Respon tidak adekuat








Respon tidak adekuat


Atau Atau



Respon tidak adekuat




Alogaritma penanganan Hipertensi (Dari Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, Arch. Intern. Med. 1993; 153:163.)

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan supplay O2 dengan kebutuhan.
2. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, factor resiko dan perawatan
lanjut berhubungan dengan keterbatasan koginitf
3. Nyeri berhubungan dengan penurunan supplay darah koroner
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif



H. KEPUSTAKAAN


Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI, Jakarta

Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta

Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis

Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002, NANDA

Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.







RENCANA KEPERAWATAN

DIAGNOSA KEPERAWTAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidak seimbangan
supplay O2 dengan kebutuhan NOC Outcome :
- pergerakan sendi aktif
- tingkat mobilitas
-perawatan ADLs

Client Outcome :
- peningkatan kemampuan dan
kekuatan otot dalam bergerak
- peningkatan aktivitas fisik NIC : Terapi latihan (pergerakan
Sendi
1. Observasi KU kien
2. Tentukan keterbatasan gerak
Klien
3. Lakukan ROM sesuai
Kemampuan
4. Kolaborasi dengan terapis untuk
melaksanakan latihan

NIC : Terapi latihan (kontrol otot)
1. Evaluasi fugsi sensorik
2. Gunakan sentuhan untuk
meminimalkan spasme otot
3. Tingkatkan aktivitas sesuai
kemampuan klien
Dengan latihan pergerakan akan mencegah terjadinya kontraktur








Meminimalkan pada kien untuk tidak terjadi kerusakan mobilitas fisik
2. Kurang pengetahuan tentang
kondisi, pengobatan, factor resiko
dan perawatan lanjut berhubungan
dengan keterbatasan koginitf.
NOC Outcome : Pengetahuan tentang proses penyakit

Client Outcome :
- Pengetahuan meningkat
- Kooperatif dalam pengobatan NIC : Pengajaran proses penyakit
1. Kaji kesiapan klien untuk
menerima informasi
2. Kaji pengetahuan klien tentang
penyakit hipertensi, penanganan
dan pencegahannya
3. Bangun rasa saling percaya
4. Jalaskan tentang pengertian,
penyebab, tanda dan gejala,
penanganan dan pencegahan
sesuai dengan kemampuan klien

5. Evaluasi tingkat pemahaman dan
kemampuan dalam menerima
penjelasan
Mengetahui tingkat pengetahuan untuk kesiapan dalam penyuluhan lebih lanjut



Klien dapat belajar tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, penanganan dan pencegahan hipertensi

Pemahaman klien dapat membenatu menentukan intervesi lebih lanjut
3. Nyeri berhubungan dengan
penurunan supplay darah koroner NOC Outcome : Kontrol nyeri

Client Outcome :
- Mampu mendeskripsikan
Nyeri
- Mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri NIC : Manajemen nyeri
1. Monitor vital sign

2. Lakukan penilaian terhadap nyeri
meliputi lokasi, karakteristik,
durasi serta faktor pencetus
3. Fasilitasi lingkungan yang
Nyaman
4. Berikan obat anti nyeri
5. Berikan teknik nonfarmakologi
dengan relaksasi dan distraksi
Mengetahui adanya perubahan sistemik tubuh
Menentukan intervensi yang sesuai serta keefektifan terapi yang diberikan
Meningkatkan ketenangan dan kenyamanan
Mengurang nyeri


4. Resiko infeksi berhubungan
dengan tindakan invasif NOC Outcome : Kontrol infeksi

Client Outcome :
- Bebas dari tanda-tanda infeksi
- AL dan differensial normal
- Vital sign normal
- Mampu mendemostrasikan
cara pencegahan infeksi NIC : Manajemen infeksi
1. Observasi vital sign dan adanya
tanda-tanda infeksi pada daerah
dilakukan tindakan invasif
2. Monitor hasil laboratorium
3. Lakukan perawatan dengan
teknik septik dan aseptik
4. Kolaborasi pemberian antibiotik
5. Anjurkan klien dan keluarga
untuk menjaga kebersihan
lingkungan
Mengetahui sedini mungkin adanya tanda-tanda infeksi


Mencegah serta mengurangi terjadi infeksi silang

Memabantu mencegah infeksi

DHF

Apa sich DHF????

Diah Chandra P.I.P
04.07.1792

1. Definisi Penyakit
Demam Dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruamruan. Demam berdarah dengue atau Dengue Hemomhagic Feuer (DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi pendarahan. Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Haemomhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flavivividae dengan genusnya adalah Flavivinus. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. selama ini secara klinis mempunyai tingkatan kanifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.

2. Etiologi
Terdapat tiga yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Nyamuk aedes albopictus, aedes pelynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Virus kemudian berkembang biak dalam tubuh nyamuk yang terutama ditemukan pada kelenjar liurnya dalam waktu 8-10 hari (extrinsie incubation period). Sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina juga dapat masuk dan berkembangbiak dio dalam tubuh nyamuk-nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif) pada manusia, virus memerlukan waktu 4-6 hari (instrinsic incubation period) sebelum menimbulkan sakit penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

3. Tanda dan Gejala
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus non spesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai ruam-ruam mukulepapular, pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa bila dimulai dengan demam riungan atau demam tinggi (390C) yang tiba-tiba dan berlangsung 2-7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri sendi dan otot, mual muntah dan ruam-ruam.
Bintik-bintik perdarahan dikulit sering terjadi, kadang-kadang disertai bintik-bintik perdarahan di pharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di hulu hati, nyeri tulang rusuk kanan (costae dexter) dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi kejang demam pada balita.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya oleh :
1. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
2. Manifestasi perdarahan
3. Nepatomegali atau pembesaran hati
4. Kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan pada DHF, dimulai dari test forniquet pasitif dan bintik-bintik perdarahan di kulit (ptechae). Ptechiae ini bisa terjadi diseruluh anggota gerak ketiak, wajah dan gusi juga bisa terjadi perdarahan hidung, gusi dan perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urine.



Berdasarkan gejalanya DNF dikelompokan menjadi 4 tingkat:
1. Derajat I : demam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah test terniquet yang positif atau mudah
memar.
2. Derajat II : gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan
perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau
ditempat lain.
3. Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang
cepat dan lemah, hipotensi suhu tubuh rendah, kulit
lembab dan penderita gelisah.
4. Derajat IV : shock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan
darah tidak dapat diperiksa, fase kritis pada penyakit ini
terjadi pada akhir masa demam.

Setelah demam 2-7 hari (penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi, pada kasus yang tidak terlalu berat. Gejala-gejala ini hampir tidak terlihat menandakan kebocoran plasma yang ringan.

4. Patofisiologi
Patogenesis dan Patofisiologi. Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2 perubahan patofisiologi yang menyolok, yaitu meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma hipovelemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga periconeal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-28jam). Hemostesis abnormal yang disebabkan oleh vaskulepati trombositopeni dan koagwiopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a dan C5a meningkat, mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD. Namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivitasi komplemen pada DBD belum terbukti selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrotag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infeksi dengur sebelumnya. Namun demikian terdapat bukti bahwa faktor virus serta responsimun sell mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.

5. Prognosis
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik DF dan DHF tidak ada yang mati, kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah dan organ lain.
Kematian disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
1. Keterlambatan diagnosis
2. Keterlambatan diagnosis shock
3. Shock yang tidak teratasi
4. Kelebihan cairan
5. Kebocoran yang hebat
6. Pendarahan masif
7. Kegagalan banyak organ
8. Ensefalopati
9. Sepsis
10. Kegawatan karena tindakan



6. Patogenesis
Virus dengue dibaca oleh banyak nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai DD. Apabila orang itu mendapat infulasi berulang oleh tipe virus dengan yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. DBD dapat terjadi bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Virus akan bereplikasi dinodus limfatikas regional dan menyebar kejaringan lain, terutama kesistem retikuloendoteliac dan kulit secara bronkogen maupun hemafogen. Tubuh akan membentuk kompleks virus antibodi dalam sirkulasi darah berakibat dilepaskannya anafilatoksin C2a dan C3a sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat akan terjadi juga agregasi trombosit yang melepaskan ADP hombosit melepaskan vaseaktif yang bersifat meningkatkan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit yang bersifat faktor-faktor yang merangsang koagulasi intraveskuler terjadinya aktivasi faktor hageman (faktor XII) akan menyebabkan pembekuan intraveskuler yang meluas dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah.

7. Data penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limposit biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang medeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, lgM maupun lgG.
Parameter Laboratorium yang dapat diperiksa
- Leukosit : dapatr normal atau menurun
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma plasma biru (LPB)>15% dari jumlah total leukosit yang pada feses syok akan meningkat
- Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi sumsum tulang.
- Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3.
- Hemostasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Bila tidak memiliki peralatan untuk pemeriksaan hemostasis maka dilakukan Ethanol Gelation Test .
Tujuan : deteksi monomer sebagai petanda aktivasi koagulasi.
Bahan : plasma sitrat pasien
Plasma normal untuk kontrol positif
Reagen : larutan etanol 50%
Larutan trombin (0,2 NIH unit/ml).
Cara kerja pemeriksaan Ethanol Gelation Test :
1. Buat kontrol positif : 0,9 ml plasma normal + 0,1 ml larutan trombin lalu inkubasi pada 370C selama 30 menit. Setelah inkubasi, sentrifus untuk mengendapkan benang fibrin, ambil supernatan untuk kontrol positif.
2. Siapkan 2 tabung, tabung pertama isi dengan 0,5 ml plasma pasien dan tabung kedua 0,5 ml kontrol positif.
3. tambahkan 0,15 ml larutan etanol ke masing-masing tabung, campur perlahan-lahan.
4. tiap menit diperhatikan terbentuknya gel
5. hasil positif jika terbentuk gel dalam 3 menit.
- Protein/ albumin : dapat terjadi hipopreteinemia akibat kebocoran plasma.
- SGOT/ SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
- Ureum, Kreatinin : dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
- Isolasi virus : yang terbaik adalah pada saat viremia (3-5 hari).
- Imuno serologi dilakukan pemeriksaan lgM dan lgG terhadap dengue.
lgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang setelah 60-90 hari.
lgG : pada infeksi primer, lgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder lgG mulai terdeksi hari ke 2.
- Uji HI : dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
- Gas darah : terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan pasien.
- Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
- Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : dilakukan pemeriksaan penentuan golongan darah dan cross match sebelum tindakan transfusi darah untuk keamanan pasien.

B. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen (untuk mengetahui adanya efusi pleura) dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG(untuk mencari adanya asciter).

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terdiri dari :
a. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam berdarah. Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah.
Cara pencegahan DBD :
1. Bersihkan tempat penyimpanan air (bak mandi, wc)
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air
3. kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng bekas, botol bekas)
4. tutuplah lubang-lubang, pagar pada pagar bambu dengan tanah
5. lipatlah pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu.
6. untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin untuk membunuh jentik-jentik nyamuk (ulangi hal ini setiap 2 sampai 3 bulan sekali).

b. Pengobatan
Pengobatan penderita demam berdarah adalah dengan cara :
1. Penggantian cairan tubuh
2. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter sampai 2 liter dalam 24 jam
3. gastroentevitis oral solution atau kritis diare yaitu garam elektrolis (oralit kalau perlu 1 sendok makan setiap 3 sampai 5 menit)
4. penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit di perlukan untuk menvegah terjadinya syok yang dapat terjadi secara cepat.
5. pemasangan infus Nacl atau Ringer melihat keperluannya dapat ditambahkan plasma atau plasma expander atau preparat hemasel.
6. antibiotik diberikan bila ada dugaan infeksi sekunder.

Rabu, 23 Juni 2010

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA Tn M DENGAN DIABETES MELLITUS DAN CELLULITIS

NAMA : SUPINTO WIYONO
KELAS : F / KP / VI
NIM : 04. 07. 1833



1. Pengertian Diabetes mellitus
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk,1999). Sedangkan menurut Francis dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.

2. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Mellitus dari National Diabetus Data Group: Classification and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Other Categories of Glucosa Intolerance:
a. Klasifikasi Klinis
1) Diabetes Mellitus
a) Tipe tergantung insulin (DMTI), Tipe I
b) Tipe tak tergantung insulin (DMTTI), Tipe II
(1) DMTTI yang tidak mengalami obesitas
(2) DMTTI dengan obesitas
2) Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
3) Diabetes Kehamilan (GDM)


b. Klasifikasi risiko statistik
1) Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa
2) Berpotensi menderita kelainan toleransi glukosa

Pada Diabetes Mellitus tipe 1 sel-sel β pancreas yang secara normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh proses autoimun, sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes mellitus tipe I ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun.
Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin.

3. Etiologi
a. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)
1) Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.


3) Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
b. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,1995). Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:
1) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelompok etnik
3. Patofisiologi
DM Tipe I DM Tipe II


































Ibarat suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan setiap hari. Bahan makanan tersebut terdiri dari unsur karbohidrat, lemak dan protein (Suyono,1999).
Pada keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada Diabetes Mellitus semua proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa kedalam sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.
Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,1995).

4. Gejala Klinis
Menurut Askandar (1998) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Mellitus apabila menderita dua dari tiga gejala yaitu
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl
Sedangkan menurut Waspadji (1996) keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat badan menurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan.

5. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus (Mansjoer dkk, 1999) adalah
a) Akut
1) Hipoglikemia dan hiperglikemia
2) Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
3) Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.
4) Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner, 1990).
b) Komplikasi menahun Diabetes Mellitus
1) Neuropati diabetik
2) Retinopati diabetik
3) Nefropati diabetik
4) Proteinuria
5) Kelainan koroner
6) Ulkus/gangren (Soeparman, 1987, hal 377)
Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain:
(a) Grade 0 : tidak ada luka
(b) Grade I : kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit
(c) Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
(d) Grade III : terjadi abses
(e) Grade IV : Gangren pada kaki bagian distal
(f) Grade V : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal

6. Evaluasi Diagnostik
Kriteria yang melandasi penegakan diagnosa DM adalah kadar glukosa darah yang meningkat secara abnormal. Kadar gula darah plasma pada waktu puasa yang besarnya di atas 140 mg/dl atau kadar glukosa darah sewaktu diatas 200 mg/dl pada satu kali pemeriksaan atau lebih merupakan criteria diagnostik penyakit DM.

7. Penatalaksanaan Diabetes mellitus
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan series pada pola aktivitas pasien.
Ada lima konponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu:
a. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat:
1) Memperbaiki kesehatan umum penderita
2) Mengarahkan pada berat badan normal
3) Menormalkan pertumbuhan DM anak dan DM dewasa muda
4) Mempertahankan kadar KGD normal
5) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik
6) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita.
7) Menarik dan mudah diberikan
Prinsip diet DM, adalah:
1) Jumlah sesuai kebutuhan
2) Jadwal diet ketat
3) Jenis: boleh dimakan/tidak
Diit DM sesuai dengan paket-paket yang telah disesuaikan dengan kandungan kalorinya.
1) Diit DM I : 1100 kalori
2) Diit DM II : 1300 kalori
3) Diit DM III : 1500 kalori
4) Diit DM IV : 1700 kalori
5) Diit DM V : 1900 kalori
6) Diit DM VI : 2100 kalori
7) Diit DM VII : 2300 kalori
8) Diit DM VIII : 2500 kalori
Diit I s/d III : diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk
Diit IV s/d V : diberikan kepada penderita dengan berat badan normal
Diit VI s/d VIII : diberikan kepada penderita kurus. Diabetes remaja, atau diabetes komplikasi,
Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J yaitu:
J I : jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah
J II : jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya.
J III : jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus disesuaikan oleh status gizi penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung Percentage of relative body weight (BBR= berat badan normal) dengan rumus:
BB (Kg)
BBR = X 100 %
TB (cm) – 100
Kurus (underweight)

1) Kurus (underweight) : BBR < 90 % 2) Normal (ideal) : BBR 90 – 110 % 3) Gemuk (overweight) : BBR > 110 %
4) Obesitas, apabila : BBR > 120 %
- Obesitas ringan : BBR 120 – 130 %
- Obesitas sedang : BBR 130 – 140 %
- Obesitas berat : BBR 140 – 200 %
- Morbid : BBR > 200 %
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk penderita DM yang bekerja biasa adalah:
1) kurus : BB X 40 – 60 kalori sehari
2) Normal : BB X 30 kalori sehari
3) Gemuk : BB X 20 kalori sehari
4) Obesitas : BB X 10-15 kalori sehari
b. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah:
1) Meningkatkan kepekaan insulin (glukosa uptake), apabila dikerjakan setiap 1 ½ jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin dengan reseptornya.
2) Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore
3) Memperbaiki aliran perifer dan menambah supply oksigen
4) Meningkatkan kadar kolesterol-high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan dirangsang pembentukan glikogen baru
6) Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
c. Penyuluhan
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media misalnya: leaflet, poster, TV, kaset video, diskusi kelompok, dan sebagainya.
d. Obat
1) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)
a) Mekanisme kerja sulfanilurea
(1) kerja OAD tingkat prereseptor : pankreatik, ekstra pancreas
(2) kerja OAD tingkat reseptor
b) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu:
(1) Biguanida pada tingkat prereseptor  ekstra pankreatik
- Menghambat absorpsi karbohidrat
- Menghambat glukoneogenesis di hati
- Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
(2) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor insulin
(3) Biguanida pada tingkat pascareseptor : mempunyai efek intraseluler
2) Insulin
a) Indikasi penggunaan insulin
(1) DM tipe I
(2) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
(3) DM kehamilan
(4) DM dan gangguan faal hati yang berat
(5) DM dan infeksi akut (selulitis, gangren)
(6) DM dan TBC paru akut
(7) DM dan koma lain pada DM
(8) DM operasi
(9) DM patah tulang
(10) DM dan underweight
(11) DM dan penyakit Graves

b) Beberapa cara pemberian insulin
(1) Suntikan insulin subkutan
Insulin reguler mencapai puncak kerjanya pada 1-4 jam, sesudah suntikan subcutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan tergantung pada beberapa factor antara lain:
(a) lokasi suntikan
ada 3 tempat suntikan yang sering dipakai yitu dinding perut, lengan, dan paha. Dalam memindahkan suntikan (lokasi) janganlah dilakukan setiap hari tetapi lakukan rotasi tempat suntikan setiap 14 hari, agar tidak memberi perubahan kecepatan absorpsi setiap hari.
(b) Pengaruh latihan pada absorpsi insulin
Latihan akan mempercepat absorbsi apabila dilaksanakan dalam waktu 30 menit setelah suntikan insulin karena itu pergerakan otot yang berarti, hendaklah dilaksanakan 30 menit setelah suntikan.
(c) Pemijatan (Masage)
Pemijatan juga akan mempercepat absorpsi insulin.
(d) Suhu
Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi uap) akan mempercepat absorpsi insulin.
(e) Dalamnya suntikan
Makin dalam suntikan makin cepat puncak kerja insulin dicapai. Ini berarti suntikan intramuskuler akan lebih cepat efeknya daripada subcutan.
(f) Konsentrasi insulin
Apabila konsentrasi insulin berkisar 40 – 100 U/ml, tidak terdapat perbedaan absorpsi. Tetapi apabila terdapat penurunan dari u –100 ke u – 10 maka efek insulin dipercepat.
(2) Suntikan intramuskular dan intravena
Suntikan intramuskular dapat digunakan pada koma diabetik atau pada kasus-kasus dengan degradasi tempat suntikan subkutan. Sedangkan suntikan intravena dosis rendah digunakan untuk terapi koma diabetik.
e. Cangkok pankreas
Pendekatan terbaru untuk cangkok pancreas adalah segmental dari donor hidup saudara kembar identik (Tjokroprawiro, 1992).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut (Rumahorbo, 1999)
1. Riwayat atau adanya faktor resiko, Riwayat keluarga tentang penyakit, obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg, riwayat glukosuria selama stress (kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi, penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid, kontrasepsi oral).
2. Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan, peka rangsang, dan kram otot. Temuan ini menunjukkan gangguan elektrolit dan terjadinya komplikasi aterosklerosis.
3. Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya aterosklerosis.
4. Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
5. Kaji perasaan pasien tentang kondisi penyakitnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Pada klien dengan Diabetes Mellitus, diagnosa keperawatan menurut NANDA adalah
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh mengabsorbsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme pengaturan.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan sekunder atau karena penyakit kronik.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal (Familiar) dengan sumber informasi.
e. Kelelahan berhubungan dengan status penyakit























ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.W
DENGAN ULKUS DIABETES MELLITUS GRADE II DI RUANG G
RSUP DR. SOERAJI TIRTONEGORO KLATEN


I. Identitas Diri Klien
Nama : Ny W
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Prayan, Jetis, Karang nongko
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Lama bekerja : 20 tahuh
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 23 Maret 2005
Tanggal Pengkajian : 28 Maret 2005
Sumber Informasi : Klien, Keluarga, Medical Record

II. Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama Saat Masuk Rumah Sakit
Luka di tumit kaki kiri dan terasa nyeri skala 5-6.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit klien kena luka di tumit kaki kiri, namun klien tidak mengetahui penyebabnya. Mulai saat itu klien lebih berhati-hati dan pelan-pelan saat berjalan.
2 minggu sebelum masuk rumah sakit keluhan dirasa semakin bertambah, luka pada tumit menjadi membengkak diperiksakan ke dokter praktek dan hanya diberikan obat oral.
1 minggu sebelum masuk rumah sakit keluhan luka pada tumit kaki klien makin bertambah, luka makin membenkak dan oleh cucunya luka tersebut di buka atau diiris keluar pusnya banyak. Klien hanya istirahat di rumah dan akhirnya karena merasa tidak kuat dan tidak bisa mengobati luka tersebut maka oleh keuarganya klien dibawa ke rumah sakit.
Hari masuk rumah sakit, keluhan luka tumit, kemudian dilakukan perawatan luka .
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien menderita tekanan darah tinggi sudah sejak 10 tahun yang lalu. Klien terdeteksi diabetes mellitus saat menjalani perawatan di rumah sakit ini. Klien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
4. Diagnosa Medik Saat Masuk Rumah Sakit:
- Ulkus Diabetes mellitus Grade II
- DM2NO
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Tanggal 23 Maret 2005
Normal
ALT : 16,4 (10 – 40)
AST : 14,8 (10 – 42)
BUN : 22,1 (7 – 18)
Creatinin : 1,22 (0,6 – 1,3)
Glukosa : 515, 9 mg/dl (80 – 120)
Ureum : 47,29 (20 – 40)

RBC : 3,81106/μl (3,7-6,5)
HGB : 10,1 9/dl (12-18)
HCT : 31,6 % (47-75)
MCV : 82,9 Fl (80-99)
MCH : 26,5 Fl (27-31)
PLT : 386 103/μl (150-450)
RDW : 42,2 Fl (35-47)
PDW : 9,9 Fl (9-13)
MPV : 8,4 Fl (7,2-11,1)

Differential
MXD : 6,2 % (0-8)
Neut : 87,3 % (40-74)
Lym# : 1,6 103/μl (1-3,7)
MXD# : 1,6 103/μl (0-1,2)
Neut# : 21,9103/μl (1,5-7)

Interpretasi:
- glukosa = 515, 9 mg/dl ; Hiperglikemi
- WBC = 25,1 103/μl ; Leukositosis
- HGB = 10,1 9/dl
- HCT = 31,6 %

Tindakan yang telah dilakukan
- Diit DM IV (1700 kalori)
- USG : cista ovarium
- Rongent : tidak ada osteomyelitis
- EKG : ST elevasi
- Infus NaCl 30 tetes per menit
- Injeksi Reguler Insulin 3 X 12 iU
- Rawat luka dan nekrotomi
- Metronidazol : 3 X 500 gr
- Captopril : 2 X 12,5 mg
- Ceftriaxon : 2 X 1 gr

III.Pengkajian Saat Ini
1. Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Klien dan keluarga belum mengetahui penyakit diabetes mellitus yang diderita klien, karena klien dan keluarga hanya mengetahui kalau klien tersebut dirawat di rumah sakit hanya karena adanya luka ulkus di tumit tersebut. Untuk pemerliharaan kesehatan klien selalu memeriksakan diri ke dokter atau mantri praktek di sekitar rumahnya.
2. Pola Nutrisi / metabolik
Program diit RS: DM IV (1700 kalori)
Intake makanan : sebelum sakit klien makan 3 kali sehari, dengan sayur dan lauk. Klien mempunyai pantangan makanan yaitu daging kambing. Saat sakit / dirawat di rumah sakit klien hanya menghabiskan rata-rata ¼ porsi pemberian. Menurut klien BB turun dari biasanya, BB tidak terkaji.
Intake cairan : sebelum sakit klien minum 6 – 7 gelas sehari, minuman pantangan kopi. Saat di rumah sakit ini klien mendapat cairan infus 1000 ml sehari dan minum air putih 3 – 4 gelas sehari .

3. Pola Eliminasi
a. Buang air besar
Sebelum sakit: sekali per dua atau tiga hari. Dan saat sakit di rumah sakit klien sekali per dua atau tiga hari, dengan konsistensi padat, warna kuning.
b. Buang air kecil
Sebelum sakit klien BAK 7 – 8 kali sehari. Dan selama di rumah sakit klien terpasang dower cateter mulai tanggal 23 Maret 2005. Dalam satu hari ± 800 CC warna kuning pekat.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Makan / Minum 
Mandi 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas di Tempat Tidur 
Berpindah 
Ambulasi / ROM 
0 : mandiri, 1: alat Bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4 : tergantung total.
Oksigenasi: Klien bernafas secara spontan tanpa bantuan alat oksigenasi.




5. Pola Tidur dan Istirahat
Klien tidur selama 7-8 jam setiap hari, tidak ada gangguan tidur. Saat di rumah sakit klien banyak istirahat dan tidur.
6. Pola Perceptual
Klien mengatakan bahwa tidak ada perubahan pada penglihatan dan klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
7. Pola Persepsi Diri
Klien mengatakan pasrah dengan penyakit yang dideritanya.
8. Pola Seksualitas dan Reproduksi
Klien sudah menopouse, klien menikah dua kali. Dengan suami yang pertama mempunyai 7 anak dan dengan suami yang kedua klien tidak mempunyai anak. Klien merasa senang dan bahagia karena didampingi oleh suami yang kedua.
9. Pola Peran-hubungan
Klien lebih dekat dengan suami. Komunikasi dengan perawat sekarang hanya apabila ditanya, menggunakan bahasa jawa.
10. Pola Managemen koping-stress
Setiap ada permasalahan klien senantiasa didampingi oleh keluarganya.
11. Sistem Nilai dan keyakinan
Sebelum sakit klien taat sholat, saat sakit klien tidak bisa sholat lagi, tapi meyakini apapun penderitaannya Tuhan yang mengaturNya.

IV. Pemeriksaan Fisik
1. Keluhan Yang Dirasakan Saat Ini:
Nyeri pada luka di tumit kaki kiri, skala 5-6 , merasa panas seperti terbakar.
2. Tanda-tanda Vital
(3) Suhu : 36,5 C
(4) Nadi : 80 X/menit
(5) Pernafasan : 20 X/menit
(6) Tekanan Darah : 160/100 mmHg
4. BB / TB
TB = 150 cm.
BB tidak terkaji, klien tampak gemuk.
5. Kepala
Bentuk : normochepal
Rambut : lebat, sedikit beruban
Mata : Conjungtiva : tidak pucat (-/-), Sklera: ikterus (- / -), Reflek cahaya +/+, fungsi penglihatan baik.
Mulut : bibir kelihatan kering, gigi banyak yang sudah tanggal.
6. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran limfe nodus. Tidak ada peningkatan JVP.
7. Thorak
Inspeks : simetris
Perkusi : Sonor kanan kiri
Palpasi : fremitus kanan dan kiri, tidak ada ketinggalan gerak.
Auskultasi : paru-paru : Vesikuler kanan kiri
Jantung : S1 S2 murni, iktus cordis teraba
8. Abdomen
Inspeks : Perut kelihatan lebih besar, dengan diameter 30 cm.
Palpasi : Abdomen supel, hati dan limfe tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : Peristaltik 20 x per menit
9. Inguinal dan genitalia
Tidak ada kelainan di regio inguinal. Klien terpasang dower catheter sejak tanggal 23 maret 2005.
10. Ekstremitas
Terdapat ulkus di tumit kaki kiri, luas ulkus dengan diameter ± 5 cm kadalamannya ± 1 cm, nampak jaringan nekrotik warna putih. Terdapat udema di bagian distal kaki kiri. Infus terpasang di tangan kiri.
Pergerakan : B B
B TB
11. Program Terapi
Tanggal 28 Maret 2005
- Diit DM IV (1700 kalori)
- Infus NaCl 30 tetes per menit
- Injeksi Reguler Insulin 3 X 14 iU
- Metronidazol : 3 X 500 gr (IV)
- Captopril : 2 X 12,5 mg (oral)
- Ceftriaxon : 2 X 1 gr (IV)
- Perawatan luka; nekrotomi
- Cek GDN dan 2 jam PP
Tanggal 29 Maret 2005
- Diit DM IV (1700 kalori)
- Infus NaCl 30 tetes per menit
- Injeksi Reguler Insulin 3 X 12 iU
- Metronidazol : 3 X 500 gr (IV)
- Captopril : 2 X 12,5 mg (oral)
- Ceftriaxon : 2 X 1 gr (IV)
- Perawatan luka; nekrotomi
Tanggal 30 Maret 2005
- Diit DM IV (1700 kalori)
- Infus NaCl 30 tetes per menit
- Injeksi Reguler Insulin 3 X 12 iU
- Metronidazol : 3 X 500 gr (IV)
- Captopril : 2 X 12,5 mg (oral)
- Ceftriaxon : 2 X 1 gr (IV)
- Perawatan luka; nekrotomi
Tanggal 31 Maret 2005
- Diit DM IV (1700 kalori)
- Infus NaCl 30 tetes per menit
- Injeksi Reguler Insulin 3 X 12 iU
- Metronidazol : 3 X 500 gr (oral)
- Captopril : 2 X 12,5 mg (oral)
- Ceftriaxon : 2 X 1 gr (IV)
- Perawatan luka; nekrotomi
- Cek GDN dan 2 jam PP
12. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 23 Maret 2005
Normal
ALT : 16,4 (10 – 40)
AST : 14,8 (10 – 42)
BUN : 22,1 (7 – 18)
Creatinin : 1,22 (0,6 – 1,3)
Glukosa : 515, 9 mg/dl (80 – 120)
Ureum : 47,29 (20 – 40)

RBC : 3,81106/μl (3,7-6,5)
HGB : 10,1 9/dl (12-18)
HCT : 31,6 % (47-75)
MCV : 82,9 Fl (80-99)
MCH : 26,5 Fl (27-31)
PLT : 386 103/μl (150-450)
RDW : 42,2 Fl (35-47)
PDW : 9,9 Fl (9-13)
MPV : 8,4 Fl (7,2-11,1)

Differential
MXD : 6,2 % (0-8)
Neut : 87,3 % (40-74)
Lym# : 1,6 103/μl (1-3,7)
MXD# : 1,6 103/μl (0-1,2)
Neut# : 21,9103/μl (1,5-7)


24 Maret 2005
GDN : 407,0 mg/dl
2 Jam PP : 476,9 mg/dl
26 Maret 2005
GDN : 261 mg/dl
2 Jam PP : 431,3 mg/dl
28 Maret 2005
GDN : 154 mg/dl
2 Jam PP : 327 mg/dl


ANALISA DATA
No Data Masalah Etiologi
1. S : -
O : WBC = 25,1 103/uL
HGB 10,1 gr/dl
luka Ulkus grade 2 di tumit kaki kiri, skala 5-6 , merasa panas seperti terbakar
Terpasang DC sejak tanggal 23 Maret 2005 PK : Infeksi
2 S. Klien mengeluh nyeri pada luka ulkus grade 2 di tumit kaki kiri, skala 5-6, nyeri seperti terbakar.
O. Wajah tegang saat ulkus dibersihkan
Klien menyeringai saat ulkus di tekan Nyeri akut Agen injury: fisik
3. S : Klien mengeluh nyeri pada luka
O : WBC = 25,1 103/uL
HGB 10,1 gr/dl
Ulkus grade 2 di tumit diameter ± 5cm
GDN 28 maret 2005 = 154 mg/dl
GD 2 jam PP 28 maret 2005 = 327 mg/dl

Kerusakan integritas jaringan Faktor mekanik: mobilitas dan penurunan neuropati, perubahan sirkulasi.
4. S : Klien mengatakan tidak bisa menghabiskan diit yang diberikan dan merasa bahwa berat badannya turun meskipun tidak ditimbang.
O : Diit yang diberikan habis ¼
HGB 10,1 gr/dl
GDN 28 maret 2005 = 154 mg/dl, GD 2 jam PP 28 maret 2005 = 327 mg/dl Ketidakseimbangan nurisi: kurang dari kebutuhan tubuh Faktor biologis
5. S: Klien mengatakan nyeri saat melakukan kegiatan
O: Seluruh aktivitas dan Kebutuhan ADL klien dibantu Kerusakan mobilitas fisik Tidak nyaman nyeri, intoleransi aktivitas
6. S: Klien mengatakan kalau datang di rumah sakit ini hanya karena luka ulkus tersebut.
Klien menanyakan tentang penyakitnya.
O: Klien bingung saat ditanya tentang penyakit DM Defisit pengetahuan: proses penyakit dan perawatannya Kurang familier dengan sumber informasi
7. S: Klien mengatakan sudah sejak 10 tahun yang lalu menderita tekanan darah tinggi
O: Tekanan darah tgl 28 Maret 2005 adalah 160/100 mmHg PK: HIpertensi

Diagnosa Keperawatan:
1. PK : infeksi
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury : fisik
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan Faktor mekanik: mobilitas dan penurunan neuropati, perubahan sirkulasi.
4. Ketidakseimbangan nurisi: kurang berhubungan dengan Faktor biologis
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak nyaman nyeri, intoleransi aktivitas.
6. Defisit pengetahuan tentang proses penyakit DM dan perawatannya berhubungan dengan Kurang familier dengan sumber informasi
7. PK: Hipertensi




















RENCANA KEPERAWATAN

No. DIAGNOSA KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI PERENCANAAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis Setelah dilakukan tindakan keperawaatan selama 6 hari Status Nutrisi meningkat,
Dengan criteria:
a) intake makan dan minuman
b) intake nutrisi
c) control BB
d) masa tubuh
e) biochemical measures
f) energy a. Monitoring Gizi
a) Timbang berat badan pasien pada interval tertentu.
b) Amati kecenderungan pengurangan dan penambahan berat badan.
c) Monitor jenis dan jumlah latihan yang dilaksanakan.
d) Monitor respons emosional pasien ketika ditempatkan pada suatu keadaan yang ada makanan.
e) Monitor lingk tempat makanan.
f) Amati rambut yang kering, tipis dan mudah rontok.
g) Monitor mual dan muntah.
h) Amati tingkat albumin, protein total, hemoglobin dan hemaktokrit.
i) Monitor tingkat energi, rasa tidak enak badan, keletihan dan kelemahan.
j) Amati jaringan penghubung yang pucat, kemerahan dan kering.
k) Monitor masukan kalori dan bahan makanan

b. - Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan teraupetik.





RENCANA KEPERAWATAN

No. DIAGNOSA KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI PERENCANAAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI


b. Manajemen Nutrisi
b) Tanyakan pada pasien apakah memiliki alergi makanan.
c) Kerja sama dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori, protein dan lemak secara tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.
d) Anjurkan masukan kalori sesuai dengan kebutuhan.
e) Ajari pasien tentang diet yang benar berdasarkan kebutuhan tubuh.
f) Timbang berat badan secara teratur.
g) Anjurkan penambahan intake protein, zat besi dan vitamin C yang sesuai.
h) Pastikan bahwa diet mengandung makanan berserat tinggi untuk mencegah sembelit.
i) Berikan makanan berprotein tinggi, kalori tinggi dan makanan bergizi yang sesuai.
j) Pastikan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
a. Nurisi yang adekuat sesuai kebutuhan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi klien.



RENCANA KEPERAWATAN

No. DIAGNOSA KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI PERENCANAAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI


c. Managemen Hiperglikemia
a) Monitor tingkat gula darah sesuai indikasi
b) 23Monitor tanda dan gejala polyuria, polidypsia,poliphagia, keletihan, pandangan kabur atau sakit kepala
c) Monitor v/s :TD dan nadi sesuai indikasi
d) Berikan insulin sesuai resep
e) Pertahankan akses IV
f) Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
g) Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala hiperglikemia menetap atau memburuk
h) Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
i) Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl khususnya adanya keton pada urine
j) Anjurkan banyak minum
k) Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
Hiperglikemia dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya: terlalu banyak makan, terlalu sedikit insulin, dan kurang aktivitas.




RENCANA KEPERAWATAN
No. DIAGNOSA KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI PERENCANAAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI
3. Kerusakan integritas jaringan b/d factor mekanik : perubahan sirkulasi, imobilitas dan penurunan sensasibilitas (neuropati) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 hari Wound healing meningkat:
Dengan criteria
Luka mengecil dalam ukuran dan peningkatan granulasi jaringan Wound care
a) catat karakteristik luka:tentukan ukuran dan kedalaman luka, dan klasifikasi pengaruh ulcers
b) Catat karakteristik cairan secret yang keluar
c) Bersihkan dengan cairan anti bakteri
d) Bilas dengan cairan NaCl 0,9%
e) Lakukan nekrotomi
f) Lakukan tampon yang sesuai
g) Dressing dengan kasa steril sesuai kebutuhan
h) Lakukan pembalutan
i) Pertahankan tehnik dressing steril ketika melakukan perawatan luka
j) Amati setiap perubahan pada balutan
k) Bandingkan dan catat setiap adanya perubahan pada luka
l) Berikan posisi terhindar dari tekanan Pengkajian luka akan lebih
realible dilakukan oleh pemberi asuhan yang sama dengan posisi yang sama dan tehnik yang sama

7. Kurang pengetahuan tentang Proses Penyakit Diabetes Mellitus berhubungan dengan tidak mengenal (familiar) dengan sumber informasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 hari dapat mengidentifikasi manajemen diabetes
Dengan criteria:
a) Mendemonstrasikan bagaimana gambaran tentang prosedur yang akan dijalani.
b) Menjelaskan tentang proses penyakit, perlunya pengobatan dan memahami perawatan.
c) Membuat daftar sumber yang akan digerakkan sebagai sumber informasi

Pembelajaran proses penyakit
a) Jelaskan patofisiologi dari penyakitnya dan bagaimana hubungannya dengan anatomi dan fisiologi.
b) Jelaskan tanda-tanda dan gejala yang umum dari penyakitnya.
c) Jelaskan tentang proses penyakitnya.
d) Diskusikan perubahan gaya hidup yang bisa untuk mencegah komplikasi atau mengontrol proses penyakit.
e) Jelaskan secara rasional tentang pengelolaan terapi atau perawatan yang dianjurkan.
f) Berikan dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pilihannya atau mendapatkan second opinion.
g) Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin terjadi.
h) Anjurkan pada pasien untuk mencegah atau meminimalkan efek samping dari penyakitnya.
i) Menilai tingkat pengetahuan pasien yang berhubungan dengan penyakitnya.
Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan memilih gaya hidup dapat melakukan tindakan pencegahan supaya tidak terjadi komplikasi








Pengajaran Prosedur Perawatan
a) Beritahu pasien atau orang lain tentang kapan dan dimana, berapa lama prosedur perawatan akan berlangsung selama tepat.
b) Beritahu pasien atau orang lain yang berkepentingan tentang siapa yang akan melakukan prosedur perawatan tersebut.
c) Pastikan pengalaman masa lalu pasien dan tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan prosedur perawatan selama tepat.
d) Terangkan tujuan dari prosedur
e) Terangkan kegiatan sebelum dilakukan prosedur perawatan.
f) Ajari pasien tentang bagaimana cara bekerja sama selama prosedur
g) Ajari pasien untuk menggunakan teknik relaksasi selama prosedur.
h) Berikan waktu bagi pasien untuk menanyakan pertanyaan dan membicarakan hal-hal yang berkaitaan dengan prosedur perawatan.
Dengan pengajaran prosedur perawatan pemahaman klien dan keluarga mengenai prosedur perawatan akan meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan antara perawat dan klien.



2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injury : fisik; Ulkus DM di kaki dan tindakan nekrotomi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 hari klien dapat Kontrol nyeri dan mengidentifikasi Tingkat nyeri.
Dengan criteria hasil:
a) penampilan rileks
b) Klien menyatakan nyeri berkurang
c) skala nyeri 0-2
Pain manajemen
a) Kaji tingkat nyeri: kualitas, frekuensi, presipitasi, durasi dan lokasi.


b) Berikan posisi yang nyaman
c) Berikan lingkungan yang tenang


d) Monitor respon verbal dan non verbal nyeri
e) Monitor vital sign
f) Kaji factor penyebab

g) Berikan support emosi

h) Lakukan touch terapi
i) Lakukan teknik distraksi dan relaksaski

j) Lakukan anxiety reduction

Management medication
Kolaborasi pemberian analgetik



Mengetahui subyektifitas klien terhadap nyeri untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Menurunkan ketegangan
Menurunkan stimulasi dapat menurunkan ketegangan
Mengetahui tingkat nyeri utk menentukan intervensi
Nyeri mempengaruhi TTV
Intervensi disesuaikan dengan penyebab
Emosi berpengaruh thd nyeri
Klien merasa diperhatikan
Mengalihkan perhatian untuk mengurangi nyeri
Kecemasan dapat meningkat

Analgetik memblokade reseptor nyeri


5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak nyaman nyeri, intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 hari dapat teridentifikasi Mobility level
Joint movement: aktif.
Self care:ADLs
Dengan criteria hasil:
a) aktivitas fisik meningkat
b) ROM normal
c) Melaporkan perasaan peningkatan kekuatan kemampuan dalam bergerak
d) klien bisa melakukan aktivitas
e) kebersihan diri klien terpenuhi walaupun dibantu oleh perawat atau keluarga
Terapi Exercise : Pergerakan sendi
a) Pastikan keterbatasan gerak sendi yang dialami
b) Kolaborasi dengan fisioterapi
c) Pastikan motivasi klien untuk mempertahankan pergerakan sendi
d) Pastikan klien untuk mempertahankan pergerakan sendi
e) Pastikan klien bebas dari nyeri sebelum diberikan latihan
f) Anjurkan ROM Exercise aktif: jadual; keteraturan, Latih ROM pasif.
Exercise promotion
a) Bantu identifikasi program latihan yang sesuai
b) Diskusikan dan instruksikan pada klien mengenai latihan yang tepat
Exercise terapi ambulasi
a) Anjurkan dan Bantu klien duduk di tempat tidur sesuai toleransi
b) Atur posisi setiap 2 jam atau sesuai toleransi
c) Fasilitasi penggunaan alat bantu
ROM exercise membantu mempertahankan mobilitas sendi, meningkatkan sirkulasi, mencegah kontraktur, meningkatkan kenyamanan.





Pengetahuan yang cukup akan memotivasi klien untuk melakukan latihan.


Meningkatkan dan membantu berjalan/ ambulasi atau memperbaiki otonomi dan fungsi tubuh dari injuri






Self care assistance:
Bathing/hygiene
a) Dorong keluarga untuk berpartisipasi untuk kegiatan mandi dan kebersihan diri klien
b) Berikan bantuan sampai klien dapat merawat secara mandiri
c) Monitor kebersihan kuku, kulit
d) Monitor kemampuan perawatan diri klien
e) Dorong klien melakukan aktivitas normal keseharian sesuai kemampuan
f) Promosi aktivitas sesuai usia
Self care assistance:dressing/groming
a) Berikan baju sesuai ukuran
b) Fasilitasi klien menyisir
c) Pelihara privasi ketika berpakaian
Self care assistance:feeding
a) Identifikasi preskripsi diet
b) Set tray makanan dan meja secara aktraktif
c) Kreasikan lingkungan menarik
d) Monitor dan catat intake Memfasilitasi pasien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri untuk dapat membantu klien hingga klien dapat mandiri melakukannya.



Self care assistance:toileting
a) Dorong keluarga untuk berpartisipasi untuk kegiatan toileting
b) Berikan bantuan sampai klien dapat melakukan eliminasi secara mandiri
c) Fasilitasi kebersihan /hygiene toiletsetelah dipakai
d) Anjurkan klien membiasakan jadwal rutin ketoilet, sesuai kebutuhan dan kemampuan
e) Berikan privasi
RENCANA KEPERAWATAN

No. DIAGNOSA KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI PERENCANAAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI
1. PK. Infeksi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 hari klien dapat Mengelola dan meminimalkan komplikasi, dengan criteria hasil:
- tanda vital stabil
- angka leukosit normal
a) Pantau tanda dan gejala infeksi
b) Kaji tanda-tanda vital
c) Kaji dan observasi daerah ulkus
d) Monitor angka leukosit
e) Monitor jika ada infeksi di daerah lain
f) Kolaborasi pemberian antibiotik: ceftriaxon 2 x 1 gr IV, metronidazol 3 x 500 gr (IV)
g) Monitor jumlah granulosit, leukosit dan bandingkan dengan angka normal.
h) Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan yang sesuai.
i) Gunakan sarung tangan sesuai peraturan tindakan pencegahan.
j) Ganti IV line sesuai aturan yang berlaku.
k) Pastikan perawatan aseptik pd IV line.
l) Pastikan teknik perawatan luka secara tepat.
m) Dorong pasien untuk istirahat.
n) Berikan terapi antibiotik sesuai instruksi
Tanda vital bisa menunjukkan adanya infeksi sehingga dapat dilakukan tindakan secepatnya.

RENCANA KEPERAWATAN

No. DIAGNOSA KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI PERENCANAAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI
7. PK. Hipertensi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan perawat dapat meminimalkan komplikasi dari hipertensi
a. Ukur tekanan darah
b. Pantau berat badan setiap hari
c. Pantau edema
d. Pantau hasil laboratorium terhadap proteinuria
e. Kaji dan ajarkan untuk melaporkan adanya: edema, gangguan penglihatan, sakit kepala, pandangan kabur
f. Ajarkan klien untuk menunjukkan hipertensi dengan edema ringan atau tanpa edema
g. Jamin klien untuk mendapatkan istirahat Edema akibat retensi garam berhubungan dengan penurunan filtrasi glomerulus

L









IMPLEMENTASI DAN CATATAN PERKEMBANGAN

No DK Tanggal Implementasi Evaluasi Paraf
1 29-03-05
Jam 08.00
Jam 09.00
Jam 10.10
Jam 11.00
Jam 11.15

Jam 12.45 - Memonitor tanda dan gejala infeksi
- Merawat luka ulkus
- Memonitor WBC
- Memonitor tanda vital
- Kolaborasi antibiotik: ceftriaxon 2 x 1 gr (IV)
- Memonitor keadaan umum klien
Jam 13.00
S : -
O:-kondisi luka kemerahan
- TD: 160/80mmHg nadi 84 X/menit, respirasi 20 X/menit, suhu 36 0 C
A: Masalah teratasi sebagian
P: Pantau adanya tanda-tanda infeksi
1 30-03-05
Jam 07.05
Jam 07.25
Jam 10.00
Jam 10.40
Jam 10.50
Jam 11.00
Jam 11.10


Jam 12.45

Jam 12.55
- Memonitor tanda dan gejala infeksi
- Mengganti linen klien
- Melakukan dressing infus
- Memonitor WBC
- Memonitor balutan luka
- Memonitor tanda vital
- Memberikan injeksi antibiotik ceftriaxon 2 x 1 gr (IV)
- Memonitor keadaan umum klien
- Menganjurkan klien makan dan istirahat yang cukup
Jam 13.00
S : -
O:-kondisi luka basah
- TD: 160/90mmHg nadi 80 X/menit, respirasi 24X/menit, suhu 36,5 0 C
A: Masalah teratasi sebagian
P: Jam 19.00 injeksi ceftriaxon

1 31-03-05
Jam 07.30

Jam 10.40
Jam 11.00
Jam 11.10

Jam 12.45

Jam 13.00
- Mengganti linen
- Memonitor tanda dan gejala infeksi
- Memonitor WBC
- Memonitor tanda vital
- Memberikan injeksi ceftriaxon 2 x 1 gr (IV)
- Memonitor keadaan umum klien
- Menganjurkan untuk menghabiskan diit yg diberikan
Jam 13.00
S : Klien merasa nyaman setelah linen dibersihkan. Klien mampu menghabiskan ¾ porsi diit yang diberikan
O:TD: 170/100mmHg nadi 80 X/menit, respirasi 20 X/menit, suhu 36 0 C
A: Masalah teratasi sebagian
P: Pantau adanya tanda-tanda infeksi






IMPLEMENTASI DAN CATATAN PERKEMBANGAN

No DK Tanggal Implementasi Evaluasi Paraf
2 28-03-05
Jam 10.00


Jam 11.00


Jam 12.00
- mengkaji karakteristik nyeri:lokasi,durasi,tipe
- memberikan posisi yang nyaman
- Memonitor vital sign
- Memberikan lingkungan yang tenang
- Memonitor respon verbal dan non verbal
- Mengkaji faktor penyebab
- Memberikan support emosi
Jam 13.00
S: Klien mengatakan masih terasa nyeri saat ulkus dirawat. Skala nyeri 5-6
O: Ekspresi wajah tegang saat ulkus dirawat, nadi:88x/menit
A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan monitoring nyeri
Kelola terapi sesuai program
Ajarkan teknik non farmakologi
2 29-03-05
Jam 08.50
Jam 09.15



Jam 10.00


Jam 11.00
Jam 13.00
- Mengkaji nilai dan karakteristik nyeri
- Mengajarkan teknik non farmakologi sebelum ulkus dirawat
- Memberikan posisi yang nyaman
- Memonitor respon verbal dan non verbal
- Mengukur vital sign
- Mengobservasi keadaaan pasien

Jam 13.00
S: Klien mengatakan masih terasa nyeri saat ulkus dirawat. Skala nyeri 5
O: Ekspresi wajah tegang saat ulkus dirawat
Klien mampu melakukan teknik distraksion (nafas dalam) Nadi 84x/menit
A: Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan monitoring nyeri
Ajarkan teknik non farmakologi
2 30-03-05
Jam 10.15





Jam 13.00 - Mengkaji tingkat nyeri
- Mengajarkan nafas dalam sebelum ulkus dirawat
- Memberikan posisi yang nyaman
- Memonitor respon verbal dan non verbal
- Observasi keadaan klien Jam 13.00
S: Klien mengatakan masih terasa nyeri berkurang skala nyeri 4 - 5
O: Ekspresi wajah tegang saat ulkus dirawat
Klien mampu melakukan distraksion (nafas dalam) nadi:84 x / menit
A: Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan monitoring nyeri

2 31-03-05
Jam 07.00


Jam 07.10


Jam 08.30


Jam 11.00
Jam 13.30
- Mengkaji nilai nyeri dan mendengarkan respon klien
- Memfasilitasi lingkungan yang tenang, merapikan tempat tidur
- Membantu klien dengan mendiskusikan respon koping memanage nyeri
- Mengukur vital sign
- Observasi keadaan klien Jam 13.00
S : klien mengatakan ada perubahan meskipun nyerinya masih sekitar 2-3

O: Ekspresi wajah rileks ketika berbicara
Nadi 80 x / menit
A: Nyeri berkurang, masalah teratasi sebagian

P: Lanjutkan rencana
Nama :siti yulaikah
Nim :04.07.1819
Kelas :f/kp/VI

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) meruokan penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat. (Mansjoer Arief,dkk.2000)
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
B. Etiologi
Sampai saat ini penyabab LES belum diketahui, diduga factor genetic,infeksi, dan lingkungan ikua berperan pada patofisiologi LES.
System immune tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi immunologi ini akan menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan komleks immune sehingga mencetuskn penyakit inflamasi immune systemic dengan kerusakan multi organ.
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah Atralgia(pegal dan linu didalam sendi) artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Artritis biasanya berlangsung hanya beberapa hari.lokasi artritis akut biasanya di sendi tangan, pergelangan tangan, dan lutut, serta biasanya simetris. Artritis bisa berpindah-pindah atau tetap disatu sendi dan menjadi menahun.
Pasien mengeluh lesu, lemas, dan capek sehingga menghalanginya beraktifitas. Demam, pegal linu seluruh tubuh,nyeri otot dan penurunan berat badan.
Terlihat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu di muka dan eritema umum yang menonjol. Pasien menjadi fotosensitif dan LES kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama. Kulit yang terkena sinar matahari menujukkan kelainan sub akut yang bersifat rekurens, berupa bercak menonjol, kemerahan dan menahun.
Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula sebagai eritema papul atau plak bersisik. Sisik ini menebal dan melekat di sertai hipopigmentasi sentral. Terutama terjadi di daerah yang terkena sinar matahari dan dapat menimbulkan kebotakan di kepala.
Dapat pula terjadi kelainan darah berupa anemia hemolitik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung,kelainan gastrointestinal misalnya pankreatitis, gangguan saraf seperti nyeri kepala dan konvulsi, dan kelainan psikiatrik misalnya psikosis atau sindrom organik otak. Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia.

D. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat terganggunya regolusi kekebalan yang menyebabkan peningkatan antoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin (Apresoline), Prokainamid (Pronestil), isoniazid, klorpromazin, dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi antoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibody tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.

E.Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
(1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
(2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
(3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
(4) Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
(5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
(6) Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
(7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b.Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
(8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
(9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
(10) Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid
(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).



F.Diagnosis
Diagnosis LES berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi dapat ditegakkan jika paling sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada3,4. Diagnosis LES yang ditegakkan pada pasien ini memenuhi kriteria ACR, yaitu terdapat 6 dari 11 kriteria. Yaitu eritema malar, ulserasi oral, artritis, kelainan neurologis, kelainan imunologis, dan antibodi antinuklear positif.

G,Pemeriksaan Penunjang
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
.
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).

Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urina Analisa cairan otak pada mielopati LES harus dilakukan dalam 24 jam sejak gejala timbul. Pada 70–85% kasus yang melibatkan sistem saraf, ditemukan peningkatan protein sampai 639 mg/dl, jumlah sel lebih dari 20. Selain itu, juga bermanfaat untuk menyingkirkan proses infeksi yang terjadi5,7,8,9. Pada kasus ini, didapatkan likuor sel 16/3, protein 244mg/dl, dan perbandingan glukosa likuor – darah 36/93 mg/dl adalah 0,38. Nilai perubahan likuor dapat terjadi pada LES dan disertai gejala klinis seperti sakit kepala dan kaku kuduk yang diagnosis sebagai meningitis aseptik.
Pemeriksan imajing mielografi dan CT mielografi sensitif, tapi tidak spesifik untuk mendiagnosis mielopati yang berhubungan dengan LES. Sebagian besar kasus yang dilaporkan, hasil mielogramnya normal. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan yang terbaik karena pemeriksaan tidak invasif dan sensitif dalam mengevaluasi kelainan pada medula spinalis2,13. Pembesaran medula spinalis selalu terlihat pada fase akut, sedangkan fase remisi akan kembali normal atau atrofi. Pada pasien ini, imajing seharusnya dilakukan untuk melihat proses kelainan anatomi seberapa luas dan berat serta untuk menyingkirkan kemungkinan proses lain yang dapat menyebabkan mielopati5,13,14. Pada pasien ini, CT scan otak dilakukan atas pertimbangan saat itu terjadinya perburukan dalam perawatan yang diduga akibat stroke. Hasil yang didapatkan merupakan gambaran hiperdens berupa garis multipel kecil-kecil di lobus parital kanan (vaskulitis). Vaskulitis dapat terjadi pada serebral lupus meskipun sangat jarang15. Infark luas, atrofi kortikal, lesi multifokal pada substansia alba, dan grisea sering terlihat pada imajing serebral LES14,16. lisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

D. Tinjauan Tentang Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).


2.3.1 Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

 NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).

NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman, 2001).

2 Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002).

Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).

2.3.2.3 Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam
1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

2.2.3.4 Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral. Siklofosfamid dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-function oxidase menjadi bahan yang aktif. Obat ini mempunyai ikatan dengan protein plasma
sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar 6,5 ± 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 ± 4 jam.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

2.3.2.5 Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 ± 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).
Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan
melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).

Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).

Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 – 7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga
dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman, 2001)




E. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan pasien LES, dibagi menjadi:
• Kelompok ringan
LES dengan gejala gejala: panas, artritis, pericarditis ringan, efusi pleura/pericard ringan,kelelahan,dan sakit kepala.
• Kelompok berat
LES dengan gejala gejala; efusi pleura,dan pericard masif,penyakit ginjal,anemia hemolitik,trombositopenia,lupus serebral,vaskulitis akut,miocarditis,pneumonitis lupus dan perdarahan paru.
Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan LES yaitu:
1. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak
2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi atau tidak.dengan panduan biopsi ditentukan apakah pasien masuk LES atau LUPUS DISKOID
3. Apakah keluhan yang muncul adalah bagian dari penyakit konektif lainnya atau tidak
4. setelah mengetahui LES,pastikan organ sasaran yang terkena dan derajat sakitnya
5. Adakah penyakit lain yang terjadi bersamaan dengan LES.bila ada,tentukan apakah primer atau sekunder
6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mempertimbanggkan untung rugi dari suatu regimen pengobatan
Penatalaksanaan umum meliputi:
a) Kelelahan bisa karena sakitnya atau karena penyakit lain seperti anemia, demam, infeksi gangguan hormonal,komplikasi pengobatan,atau strees emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping pemberian obat ialah cukup istirahat,pembatasan aktifitas yang berlebih dan mampu mengubah gaya hidup.
b) Hindari merokok
c) Hindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi
d) Hindari stress dan trauma fisik
e) Diet sesuai kelainan,misalnya hiperkolesterolemia
f) Hindari pajanan sinar matahari khususnya UV pada pukul10.00 sampai 15.00
g) Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung estrogen

Penatalaksanaan medikamentosa yaitu:
 LES derajat ringan;
 Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merupakan pilihan utama dengan dosis sesuai derajat penyakit
 Penambahan obat antimalaria hanya bila ada ruam kulitdan lesi di mukosa membran.
 Bila gagal ditambah prednison 2,5-5mg/hr dosis dapat dinaikkan 20% secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan.
 LES derajat berat:
 Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai dengan kelainan sasaran organ yang terkena.

F. Prognosis
Prognosis LES dengan angka kelangsungan hidup 10 tahun pada studi terkini dilaporkan 85–95%, faktor yang berpengaruh adalah diagnosis dini, terapi yang tepat guna, dan antibiotik spektrum luas sesuai indikasi. Data di Asia menunjukkan angka kelangsungan hidup 5–10 tahun masih rendah. Ini berhubungan dengan sosial ekonomi dan sumber kesehatan yang masih terbatas3,5









BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. B
DENGAN PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS

A. PENGKAJIAN
Ruang : -
Tanggal Pengkajian : -
Jam : -

1. Biodata
a. Identitas Klien
Nama : -
Tempat Tanggal Lahir : -
Umur : -
Jenis Kelamin : -
Alamat : -
Agama : -
Suku : -
Pendidikan : -
No. CM : -
Tanggal Masuk : -
Diagnosa Medis : LES
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : -
Tempat Tanggal Lahir : -
Umur : -
Jenis Kelamin : -
Alamat : -
Agama : -
Suku : -
Pendidikan : -
Hubungan dengan pasien : -
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada pengkajian penderita LES, didapat bahwa Pasien mengeluh lesu, lemas, dan capek sehingga menghalanginya beraktifitas. Demam, pegal linu seluruh tubuh,nyeri otot dan penurunan berat badan.
Terlihat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu di muka dan eritema umum yang menonjol. Pasien menjadi fotosensitif dan LES kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama. Kulit yang terkena sinar matahari menujukkan kelainan sub akut yang bersifat rekurens, berupa bercak menonjol, kemerahan
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Penderita LES dapat menderita penyakit-penyakit sebagai berikut :
• perikarditis,
• miokarditis,
• gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs.
• Hipertensi,
• kegemukan,
• dan hiperlipidemia.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Factor resiko dari LES salah satunya karena factor genetik
e. Genogram









Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Pasien
: Tinggal dalam satu rumah
f. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penderita LES menjadi fotosensitif dan LES kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama. Kulit yang terkena sinar matahari menujukkan kelainan sub akut yang bersifat rekurens, berupa bercak menonjol, kemerahan

Pola Fungsi Kesehatan (Gordon)
g. Persepsi terhadap Kesehatan
-
h. Pola Aktivitas Latihan
Selama sakit, pola aktivitas dan latihan pasien sebagai berikut.
Aktivitas 0 1 2 3 4
Mandi √
Berpakaian/berdandan √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat tidur √
Ambulansi
Makan √

Keterangan :
0 : mandiri
1 : menggunakan alat Bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang dan peralatan
4 : ketergantungan/tidak mampu
i. Pola Istirahat Tidur
Penderita LES dapat tidur ± 8 jam dalam sehari
j. Pola Nutrisi Metabolik
Selama sakit pasien dapat makan 3 kali sehari.pasien mengalami kesusahan dalam memasukan makanan karena adanya ulserasi pada mulut
k. Pola Eliminasi
Selama sakit pola eliminasi pasien tidak mengalami perubahan dari kondisi sehat.

l. Pola Kognitif Perseptual
Pasien mengalami kelainan psikiatrik misalnya psikosis atau sindrom organik otak. Pasien mengalami sakit kepala. Pendengaran dan penglihatan pasien normal. Pasien dapat berbicara dengan jelas.
m. Pola Konsep Diri
1) Harga Diri
Penderita biasanya merasa malu terhadap penyakitnya.
2) Ideal Diri
Keinginan pasien terhadap lingkungan mungkin sesuai dengan ideal/harapannya atau tidak.
3) Identitas Diri
Pasien mampu menentukan dirinya sendiri.
4) Gambaran Diri
Pasien biasanya merasa malu terhadap perubahan fisik yang dapat ditimbulkan akibat penyakitnya.
5) Peran Diri
Selama sakit pasien tidak dapat melakukan perannya sehari-hari dengan baik.
n. Pola Koping
Penderita LES dapat berkomunikasi dengan baik dan mengutarakan masalahnya.
o. Pola Seksual Reproduksi
Penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.
p. Pola Peran Hubungan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan. Namun masih dapat berkomunikasi.
q. Pola Nilai dan Kepercayaan
Selama sakit penderita LES dapat melakukan ibadah di tempat tidur.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-Tanda Vital
1) Suhu : lebih dari 37,5 ºC
2) Nadi : normal (60-100x/menit)
3) Tekanan Darah : normal ((systole )100-139mmHg, (diastole )60-89 mmHg
4) Pernafasan : noramal (16-24x/menit)
b. Keadaan Umum
Terdapat ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi, penderita lemas, lesu. Kesadaran composmentis.
c. Kulit, Kuku, Rambut
- Inspeksi
Warna kulit: kemerahan pada pipi dan hidung berbentuk kupu-kupu .
terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari
Kuku tangan dan kaki: berwarna pink.
Jumlah rambut banyak dan merata. Kulit memerah
- Palpasi
Suhu tubuh teraba hangat.
Turgor kulit baik (normal).
d. Kepala
- Inspeksi
Muka simetris, bentuk kepala mesocepalus.pada muka bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut
- Palpasi
Pada wajah terdapat bercak menonjol. Tidak ada nyeri tekan maupun massa pada kepala.

e. Mata
- Inspeksi
Mata kanan dan kiri simetris, reflek pupil (+), konjungtiva berwarna merah muda, sclera berwarna kemerahan, iris berwarna coklat.
Pasien tidak mengalami gangguan dalam hal penglihatan.
- Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan pada mata.
f. Telinga
- Inspeksi
Daun telinga sewarna dengan bagian tubuh lain. Telinga dan liang telinga bersih dan tidak terdapat serumen. Pendengaran normal/tidak tuli.
- Palpasi
Catilago pada daun telinga bersifat elastis, tidak terdapat nyeri tekan pada prosesus mastoideus dan tidak terdapat nyeri tekan tragus.
g. Hidung
- Inspeksi
Hidung terdapat ruam/ kemerahan berbentuk kupu-kupu.
Tidak ada polip pada hidung.
Selaput lender lembab, mukosa hidung lembab.
Fungsi penghidu pasien tidak mengalami gangguan.
- Palpasi
Cartilago pada hidung bersifat elastis. Tidak terdapat massa, nyeri tekan, maupun krepitasi.
h. Mulut
- Inspeksi
Bibir simetris. Bibir tidak sianosis.
Tidak ada lesi, stomatitis pada bibir maupun gusi.
Pasien tidak mengalami gangguan dalam mengecap. ulserasi di mulut atau nasofaring,
- Palpasi
Tidak terdapat massa maupun nyeri tekan pada pipi, mulut, dan lidah pasien.
i. Leher
- Inspeksi
Leher simetris dan sewarna dengan bagian tubuh lain, tidak terdapat lesi
Gerakan leher bebas.
- Palpasi
Tidak ada pembengkakan.
Tidak terdapat massa dan nyeri tekan.
j. Dada
- Inspeksi
Dada sewarna dengan bagian tubuh lain.
- Palpasi
Tidak ada massa maupun nyeri tekan.
k. Paru-Paru
- Inspeksi
Terdapat kesimetrisan ekspansi antara paru-paru kanan dan kiri.
Frekuensi pernapasan : normal 16-24X/menit
- Palpasi
Terdapat kesimetrisan ekspansi antara paru-paru kanan dan kiri.
- Perkusi
Bunyi sonor
- Auskultasi
Suara napas vesikuler.
l. Jantung
- Palpasi
normal (60-100x/menit)

- Perkusi
Bunyi pekak.
- Auskultasi
Biasanya terdengar blub-dug,blub dug

m. Abdomen
- Inspeksi
Bentuk abdomen normal dan simetris, sewarna dengan bagian tubuh lainnya,.
- Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen.
- Perkusi
Bunyi resonan.
- Auskultasi
Peristaltic usus normal (5-35 x/menit).
n. Anus dan Rektum
- Inspeksi
Tidak terdapat hemoroid.
- Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan maupun massa.
o. Alat Kelamin
- Inspeksi
Alat kelamin sewarna dengan bagian tubuh lainnya. Terdapat rambut pubis dan tidak terdapat keluaran.
- Palpasi
Tidak ada massa dan nyeri tekan.
p. Musculoskeletal
Terjadi penurunan toleransi aktivitas dan gangguan fungsi motorik.
q. Neurologi
Pasien mengalami nyeri kepala,



Pemeriksaan Penunjang:
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien LES meliputi:
• ANA (anti nuclear antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas yang rendah
• Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
• Antibodi anti-S (smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien
• Anti-RNF (ribonukleoprotein),anti-ro/anti-SS-A,anti-La (anti koagulan lupus)/ anti-SSB, dan antibody anti kardiolitin.titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.
• Komplemen C3, C4 dan CH50 (komplemen hemolitik)
• Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada atritis rematoid, sindrom Sjogren, scleroderma, obat, dan bahan- bahan kimia lainnya
• Anti ssDNA, (single stranded)
• Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Data Fokus
- lemas
- lemah
- ruam pada kedua pipi dan hidung
- Penurunan toleransi aktivitas
- Sakit kepala
- Linu pada sendi
- Nyeri otot
- Penurunan berat badan
- Penderita LES cenderung merasa malu dengan penyakitnya
- Pasien mengalami kelainan psikiatrik misalnya psikosis atau sindrom organik otak
- Pada wajah terdapat bercak menonjol
- ulserasi di mulut atau nasofaring
- terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari
- pada muka bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut
- Kulit teraba hangat
- Kulit memerah
- Klien kesusuhan dalam memasukan makanan karena adanya ulserasi pada mulut
- Tanda-Tanda Vital
• Suhu : lebih dari 37,5 ºC
• Nadi : normal (60-100x/menit)
• Tekanan Darah : normal ((systole )100-139mmHg, (diastole )60-89 mmHg
• Pernafasan : noramal (16-24x/menit)


2. Analisis Data
NO. SYMPTOM PROBLEM ETIOLOGI
1. DO :
- ruam pada kedua pipi dan hidung
- Pada wajah terdapat bercak menonjol
- terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari
- pada muka bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut
- ulserasi di mulut atau nasofaring
- Kerusakan integritas kulit Deficit imunologis

2. DO :
- Lemas
- Lemah
- Penurunan toleransi aktivitas
- Penurunan toleransi aktivitas
- Intoleransi aktivitas Intoleransi aktivitas
3. DO :
- Sakit kepala
- Lemah
- Lemas
- Nyeri pada otot
- Linu pada sendi Nyeri akut Agen cidera biologis (kelainan imun)
4. DO :
- ruam pada kedua pipi dan hidung
- Penderita LES cenderung merasa malu dengan penyakitnya
- Pada wajah terdapat bercak menonjol
- ulserasi di mulut atau nasofaring
- Kulit memerah
- Pasien mengalami kelainan psikiatrik misalnya psikosis atau sindrom organik otak
- Gangguan citra tubuh Penyakit (perubahan bagian tubuh)
5. DO :
- Suhu : lebih dari 37,5 ºC
- Kulit teraba hangat
- Kulit memerah hipertermi Penyakit(proses inflamasi multisistem)
6. DO:
- Terjadi penurunan berat badan
- Lemas
- Lemah
- Terdapat ulserasi pada mulut
- Klien kesulitan dalam memasukan makanan Ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh Kesulitan dalam memasukkan,mengabsorpsi makanan karena factor biologis

3. Prioritas Masalah dan Diagnosa Keperawatan
1) Hipertermi b/d Penyakit(proses inflamasi multisystem
2) Kerusakan integritas kulit b/d Deficit imunologis
3) Nyeri akut b/d Agen cidera biologis (kelainan imun)
4) Ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d Kesulitan dalam memasukkan,mengabsorpsi makanan karena factor biologis
5) Gangguan citra tubuh b/d Penyakit (perubahan bagian tubuh)
6) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan secara menyeluruh



C. PERENCANAAN
No. Dx Nama Diagnosa TUJUAN/NIC INTERVENSI/NOC
1. Hipertermi b/d Penyakit(proses inflamasi multisystem
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …….. jam, diharapkan terjadinya penurunan suhu tubuh mencapai normal dengan krteria hasil:

Thermoregulation(0800):
 (080002) suhu tubuh dalam rentang normal
 (080003) tidak terjadi sakit kepala
 (080007) tidak terjadi perubahan warna kulit
 (080010) berkeringat ketika panas
 Status immun(0702):
 (070206) berat badan dalam rentang normal
 (070208) intergritas kulit
 (070209) integritas mukosa
 (070210) tidak terjadi kelelahan kronis Pengaturan suhu tubuh(3900)
 Pantau suhu tubuh minimal setiap 2 jam jika perlu
 Pantau warna kulit dan suhu tubuh
 Berikan intake nutrisi dan cairan yang adekuat
 Pantau adanya laporan dari pasien mengenai tanda dan gejala hipertermi
 Atur suhu lingkungan sesuai kebutuhan pasien
 Berikan antipiretik
 Pantau tekanan darah, nadi,suhu tubuh, dan status pernafasan

2. Kerusakan integritas kulit b/d Deficit imunologis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan integritas jaringan kulit kembali normal dengan kriteria hasil :
Integritas jaringan : kulit dan membrane mukosa (1101)
 (110103) elastisitas kulit dalam rentang normal
 (110104) status hidrasi dalam rentang normal
 (110105) pigmentasi kulit dalam rentang normal
 (110107) warna kulit dalam rentang normal
 (110108) tekstur kulit dalam rentang normal
 (110111) perfusi jaringan dalam rentangnormal
Perawatan kulit: perawatan kulit dibagian tertentu(wajah)(3584)
 Bersihkan kulit dengan sabun anti bacterial sesuai kebutuhan
 Gunakan pakaian tertutup
 Pertahankan tempat tidur dan linen tetap bersih, kering, dan bebas dari kerutan
 Gunakan antibiotic topilkal pada area ang terinfeksi jika perlu
 Gunakan agen anti inflamasi tropical pada area yang terinfksi jika diperlukan
 Tambahkan pelembab untuk lingkungan yang panas jika perlu
3. Nyeri akut b/d Agen cidera biologis (kelainan imun)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, nyeri berkurang dengan criteria :
Kontrol Nyeri (1605)
 (160501) Mengenal factor penyebab
 (160502) )Mengenal reaksi serangan nyeri
 (160509) Mengenal gejala nyeri
 (160511) Melaporkan nyeri terkontrol
Tingkat Nyeri (2102)
 (210203) Frekuensi nyeri
 (210206) Ekspresi akibat nyeri Manajemen Nyeri (1400)
 Anjurkan tidur/ istirahat cukup.
 Observasi isyarat nonverbal tentang ketidaknyamanan pasien
 Ajarkan pasien menggunakan tehnik nonfarmakologik (tehnik relaksasi, hypnosis, distraksi dan terapi musik)

Administrasi Analgetik(2210)
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan tingkat nyeri sebelum mengobati pasien.

 Berikan analgetik yang tepat sesuai dengan resep.

 Catat reaksi analgetik dan efek buruk yang ditimbulkan

4. Ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d Kesulitan dalam memasukkan,mengabsorpsi makanan karena factor biologis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, kebutuhan cairan terpenuhi dengan criteria :
Status Nutrisi(1004)
 (100401) Intake nutrisi
 (100402) Intake makanan dan cairan
 (100403) Bertenaga Manajemen Ketidakteraturan dalam Memakan(1030)
 Ajarkan dan tanamkan konsep nutrisi sehat kepada pasien.

 Catat intake dan output cairan.

 Catat intake kalori dalam makanan sehari-hari.


Manajemen Nutrisi(1100)
 Berikan pilihan makanan.




 Berikan makanan berprotein tinggi, kalori tinggi, bergizi, dan minum.

 Berikan perawatan mulut sebelum makan.
5. Gangguan citra tubuh b/d Penyakit (perubahan bagian tubuh)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam,diharapkan pasien dapat lebih percaya diri dan mampu menerima kondisinya
Citra tubuh(1200)
 (120001) gambaran diri secara internal
 (120002) kesesuaian antara realitas tubuh, penampilan tubuh,ideal tubuh
 (120003) jelaskan bagian dari gambaran tubuh
 (120006) kepuasan terhadap fungsi tubuh
 (120007) penyesesuaian terhadap perubahan penampilan fisik
 (120009) penyesuaian terhadap status kesehatan Peninggkatan citra tubuh (5220)
 Gunakan tehnik antisipasi untuk mempersiapkan pasien menghadapi perubahan citra tubuhnya
 Indentifikasi dukungan yang sesuai untuk pasien
 Indentifikasi strategi koping yang digunakan oleh keluarga sebagai respon dari perubahan cintra tubuh pasien
 Identifikasi hal yang berarti dari pasien: budaya, agama, ras, jenis kelamin dan usia untuk citra tubuh
 Pantau pernyataan tentang perhatian–perhatian persepsi terhadap identifikasi citra tubuh dengan bentuk tubuh dan berat tubuh



6. Intoleransi aktivitas berhubungan kelemahan secara menyeluruh. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …… jam, diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas lebih baik dari sebelumnya dengan criteria :
Toleransi Aktivitas (0005)
 (000502) Nadi normal untuk beraktivitas

 (000512) Bertenaga

 (000513) Menunjukkan aktivitas sehari-hari
Daya Tahan (0001)
 (000110)Tidak menunjukkan kelelahan


Terapi Aktivitas 4310
 Tentukan komitmen pasien untuk meningkatkan frekuensi aktivitas.

 Ajarkan pasien/ keluarga cara melakukan keinginan beraktivitas.

 Bantu pasien mengembangkan motivasi diri dan kekuatan untuk beraktivitas.

 Berikan aktivitas pengganti ketika pasien mempunyai waktu, energi, dan kemampuan untuk bergerak.
Manajemen Energi 0180
 Pantau intake nutrisi.


 Pantau tanda-tanda vital.


 Berikan latihan gerakan aktif/ pasif.

 Bantu pasien melakukan aktivitas fisik secara teratur, misalnya perubahan posisi dan perawatan diri.

 Evaluasi peningkatan aktivitas.





















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Lupus eritematosa sistemik(SLE) merupakan penyakit autoimun kronik,multisistem,tanda dan gejala dapat berbeda,bersifat sementara,dan sulit didiagnosis.Dimana SLE merupakan satu dari sekelompok gangguan jaringan ikat difus dengan penyebab yang tak diketahui.SLE dapat bervariasi mulai dari gangguan ringan sampai gangguan yang bersifat cepat menjadi fulminan dan fatal.Situasi yang paling sering adalahsalah satu eksaserbasi dan hamper remisi yang dapat berlangsung untuk jangka lama.

Gejala yang paling sering adalah arthritis atau artralgia simetris, dan sendi yang paling sering terkena adalah sendi proksimaltangan, pergelangan lengan tangan,siku,bahu,lutut,dan pergelangan kaki.















DAFTAR PUSTAKA


- Johnson,Marion dan Maridean mass.2004.NOC.USA: Mosby - year book
- Mc Loskey, Joanne C dan Gloria M.Bulechec.2004.NIC.USA: Mosby-year book
- Mansjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.Media Aesculapius: Jakarta
- Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi. EGC: jakarta
- Santosa, Budi. 2005– 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta: Prima Medika